6.7.14

Tentang sekolah pendidikan kesetaraan

"School nowadays isn't about learning, it's about passing" begitulah twit dari suatu akun yg diritwit seorang teman. Aku yg lg scrolling di timeline jadi mikir, dan ngerasa twit itu pas banget sama realita masa kini, khususnya aku yg kebetulan juga mengajar di pkbm (sekolah pendidikan kesetaraan) paket a, b, c. 
Nah, itulah yg mau aku bahas. Beberapa orang memandang sebelah mata sekolah pkbm, dan memang mungkin sah sah saja karena memang pada kenyataannya sekolah pkbm yang notabene dibentuk untuk orang2 / anak2 yang telat atau belum sekolah karena berbagai macam kondisi ( sakit,tidak lulus UN, putus sekolah, terlalu tua, telah bekerja dll) menjadi tergedradasi artinya menjadi "sekolah instan" untuk mendapatkan ijazah. 
Iya, ijazah, lembar penting yg dibutuhkan seluruh rakyat indonesia untuk mendapatkan kehidupan yg "lebih baik", untuk bekerja atau melanjutkan sekolah lagi. 
Euforia ujian nasional tentu erat kaitannya dengan maraknya sekolah model pkbm ini, karena yg belajar disana pasti mengincar ijazah kelulusan.
Disebut instan karena kebanyakan pkbm yg ada, dijalankan secara serampangan dan seadanya. Pernah aku melihat liputan di salah satu stasiun tv swasta yg menginvestigasi jalannya  kegiatan beberapa pkbm di jakarta dan beberapa kota yg semrawut dimana tidak ada kegiatan belajar mengajar, walau ada beberapa yg ada, tapi hanya seminggu sekali, bahkan sebulan sekali. Kelas hanya ramai waktu ujian nasional saja dan itu pun di dekte jawaban un nya. Itulah mengapa citra pkbm jadi jelek dan dipandang sebelah mata. 
Walaupun begitu, ditunjukkan juga dalam investigasi tersebut bahwa tidak semua pkbm semrawut semacam itu. Di tempat aku ngajar, kegiatan pembelajaran dilajukan seminggu 3/4 kali, senin - kamis. Administrasi nya juga tidak semrawut. 
Menjadi berbeda ketika dikaitkan dengan ujian nasional, itulah yg menjadi momok. Jadi begini, murid2 paket a, b, c juga diwajibkan mengikuti UN dengan tingkat kesulitan soal yang lebih kurang sama dengan anak SD/SMP/SMA pada umumnya. Itulah yg membuat saya jadi bingung, bagaimana bisa peserta didik yg hanya belajar 3kali seminggu (bahkan 1x/minggu, 1x/bulan, atau hanya langsung ujian) bisa disejajarkan dengan anak sekolahan yg sekolahnya seminggu 6 kali? Bahkan ada yg full day dan belum lg ditambah bimbingan belajar yg mereka ikuti ? Bagaimana bisa ? 
Jadi, rata2 peserta pkbm berasal dari warga menengah ke bawah, anak2 putus sekolah yang tentu kemampuannya jauh dibanding anak2 yg sekolah full day + bimbel dan kursus. Di tempat aku ngajar saja, banyak anak kelas 6 sd yg masih kebingungan tentang perkalian dan pembagian, anak smp yg ga tau letak indonesia di peta, anak setara sma yg ga tau sama sekali kosa kata bhs inggris selain "I love you" disuruh ikut ujian yg setara sd/smp/sma ? 
Maka jadilah, suasana UN yang harusnya jujur menjadi tidak jujur karena tentu mereka perlu bantuan untuk lulus, bahkan dari dinas pendidikan secara terang2 an mendikte jawaban.
Itulah itulah yg bikin aku bingung. Galau.
Saya berusaha gak memikirkan kegalauan itu, Ketika mengajar, saya lebih banyak mengesampingkan rpp/kurikulum, dan mengajar hal2 kecil yg mereka belum bisa, yg penting ada   kemauan besar mereka untuk belajar dan saya salut akan hal itu, diluar kepada murid yg masuk sekolah paket hanya untuk ijazah atau pelaksanaan UN nya yg semrawut tentunya. 
Kembali lagi pada kalimat pembukaan di atas, karena suatu sistem, proses belajar saat ini mementingkan tentang kelulusan, bukan melakukan makna "belajar" yg asli, fokusnya menjadi bergeser, dan semua jadi kayak pemaksaan. Seperti makan buah simalakama akhirnya.

#maafberantakan

1 komentar:

  1. sempat bekerja di bidang yg sama walaupun gak sama persis, kesimpulannya emang sistem pendidikan kita tidak sehat samasekali :(

    BalasHapus