Bulan Maret lalu, aku ikutan lomba karya tulis yang diadain humas pemkot surabaya untuk mahasiswa dan umum (termasuk wartawan senior, guru juga boleh ikut), dan aku barusan tau kalau aku masuk 50 karya tulis terbaik, soalnya pas pengumuman finalis dan pemenangnya aku ga datang hhe, so, biar tulisan ini ga cuman ngendap di laptop alangkah lebih baik bila saya publikasikan hhhe, kalau ada salah2 kata , ya harap maklum, please enjoy :D
sertifikat ini baru aku ambil selasa kemarin, padahal lombanya dari maret, hhe
Menggagas Surabaya sebagai Kota yang Nyaman untuk Tujuan Wisata
Oleh : Tsabita Shabrina
Setiap orang memerlukan ‘jeda’ ditengah berbagai macam kegiatan yang dijalankan dalam setiap harinya. Dengan beristirahat atau memanjakan diri, penat setelah menjalani rutinitas pun bisa terkurangi sehingga badan dan pikiran menjadi segar kembali. Salah satu cara untuk memanfaatkan waktu jeda tersebut adalah dengan berlibur, maka bukanlah suatu hal yang baru lagi bila berlibur dapat dikategorikan sebagai bagian dari kebutuhan hidup. Sementara itu fenomena globalisasi yang identik dengan kemajuan teknologi dan informasi membuat kegiatan berlibur menjadi lebih mudah serta pilihan dan cara untuk melakukannya pun semakin berkembang dan bervariasi. Sejalan dengan hal tersebut, pariwisata dapat dikatakan sebagai ‘industri’ yang akan terus menggeliat, dan Surabaya sebagai salah satu kota besar di Indonesia, tentunya berpeluang untuk memanfaatkan geliat pariwisata tersebut. Tulisan ini kemudian akan mencoba membahas gagasan serta potensi –potensi wisata dan budaya di Surabaya untuk mewujudkan Surabaya menjadi kota yang lebih baik dibidang kepariwisataan dan pelestarian budaya.
Sebagaimana dipaparkan diatas, globalisasi dengan sifat borderless nya menjadikan pilihan destinasi dan cara melakukan kegiatan wisata semakin bervariasi, dimana salah satu ‘gaya’ berwisata tersebut adalah dengan cara Backpacking yang beberapa tahun belakangan ini menjadi trend gaya berwisata yang populer. Secara sederhana Backpacking adalah solusi bagi penyuka jalan-jalan yang ingin tetap menjalankan kegemaranya tetapi dengan modal (uang) yang terbatas, dimana kata backpacking sendiri berasal dari kata “backpack” yang berarti ransel, karena para backpacker (sebutan untuk seseorang yang melakukan backpacking) identik bergaya santai dengan ransel besar dan sandal, para backpacker ini tidak mengutamakan hotel, restoran mewah atau transportasi khusus serta jadwal terikat yang biasa dibuat travel agent, mereka lebih menikmati menyusuri tujuan wisata mereka dengan transportasi umum atau berjalan kaki. Backpacking yang rata- rata dilakukan oleh anak muda ini kini mulai tumbuh sebagai gaya hidup didorong oleh masifnya penerimaan informasi ke masyarakat melalui berbagai media, berjamurnya buku- buku tentang panduan backpacking baik di dalam dan di luar negeri juga menjadi indikator lain atas mewabahnya fenomena tersebut. Di Indonesia sendiri seringkali ditemui beberapa wisatawan yang berwisata dengan gaya backpacking ini, seperti di Bali atau Jogjakarta, dimana beberapa wisatawan asing maupun lokal yang terlihat melakukan gaya wisata dengan orientasi low budget tersebut.
Sementara itu, bisa dikatakan bahwa ‘pamor’ Surabaya sebagai kota wisata tentunya ‘kalah saing’ dibandingkan Bali, Jogjakarta atau bahkan kota Batu dan Malang, hal teresebut mungkin wajar karena Surabaya lebih dikenal sebagai kota metropolitan dengan intensitas perdagangan barang dan jasa yang tinggi. Selain sebagai pusat bisnis dan perdagangan, Surabaya juga tidak lepas dari image “gemerlap’, seperti hingar bingar lampu jalan, gedung-gedung tinggi lengkap dengan berjamurnya pusat perbelanjaan dan cafe-cafe serta tempat-tempat nongrong anak muda di taman- taman atau sudut kota. Padahal, Kota yang sering digunakan hanya sebagai transit pelancong asing atau domestik ini sebenarnya mempunyai daya tarik tersendiri untuk dikunjungi, khususnya untuk sasaran para backpackers yang menginginkan atmosfer petualangan, hiburan sekaligus edukasi yang ramah di kantong, yaitu dengan wisata budaya dan sejarah.
Wisata sejarah dan budaya sendiri telah diulas dalam website pemerintah kota surabaya , hanya saja penulis merasa informasi yang disajikan kurang lengkap karena belum semua tempat potensial terkait wisata sejarah dan budaya. Tempat yang penulis soroti yaitu daerah Surabaya utara, deretan bangunan – bangunan kuno dapat merefleksikan bagaimana potret surabaya di masa lalu, revitalisasi beberapa bangunan sejarah merupakan suatu agenda yang penting, karena hancurnya suatu bangsa apabila masyarakatnya lupa akan identitas dan sejarahnya sendiri. Contoh nyatanya yaitu daerah di sekitar Jembatan Merah, dengan gedung internatio dan beberapa bangunan kuno lainnya dimana lokasi tersebut merupakan saksi perjuangan arek-arek Suroboyo melawan penjajah. Ironis, apabila generasi kota pahlawan mendatang tidak tahu menahu bagaimana perjuangan, semangat dan pengorbanan para pahlawan saat merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Selain itu dalam hal budaya, Surabaya utara sendiri memiliki sisi unik yang dapat ditelusuri, setelah terbius oleh pesona gedung gedung kuno gaya eropa di sekitar jembatan merah, tidak jauh darisana suasana daerah pecinan terlihat dari daerah sekitar jalan dukuh dan kembang jepun , dimana terletak Klenteng Hok Tien Hian di jalan dukuh yang merupakan klenteng terkuno di Surabaya. Menariknya, kampung arab yang terletak di sekitar komplek Sunan Ampel dengan beberapa pasar tradisional dan wisata kuliner khas timur tengah juga tidak jauh dari kampung pecinan tersebut. Dengan begitu, pada satu sudut kecil di Surabaya Utara ini saja dapat ditemui 3 budaya berbeda yang juga bercampur dengan budaya lokal.
Masih banyak lagi pesona surabaya yang belum terbahas disini, walaupun begitu dari sekelumit yang penulis paparkan diatas saja terdapat beberapa hal yang mengurangi citra surabaya sebagai kota yang “ramah” pagi wisatawan secara umum ataupun backpacker secara khusus. Hal yang mendasari pernyataan tersebut bisa dilihat pada kenyataan bahwa Surabaya bukanlah kota yang nyaman untuk backpacking, beberapa penyebab ketidaknyamanan tersebut yaitu minimnya informasi terkait tempat wisata yang bisa diakses secara mudah oleh wisatawan, seperti peta atau petunjuk jalan serta halte dan telepon umum. Selanjutnya, Trotoar yang notabene merupakan tempat pejalan kaki bergeser menjadi tempat didirikannya lapak – lapak PKL yang jauh dari keadaan rapi, belum lagi sampah sampah yang tidak mengalami tindakan lanjutan banyak berserakan disudut jalan atau saluran air juga merupakan salah satu masalah tersendiri. Dalam hal ini penanganan terkait pengelolaan sampah merupakan salah satu program kerja yang mendesak, di beberapa daerah telah menerapkan Bank Sampah atau pengadaan tong sampah yang diletakkan disekitar jalanan sebagai alternatif pendaur ulangan sampah, bila hal tersebut disosialisasikan lebih lanjut, maka manajemen kebersihan akan lebih baik dengan menggandeng penduduk lokal disekitar tempat wisata untuk bekerjasama dalam pemeliharaan tempat wisata beserta penanganan sampahnya, sehingga pejalan dan penikmat wisata seperti backpacker pun bisa nyaman akan kondisi tersebut.
Terakhir adalah terkait revitalisasi obyek wisata itu sendiri, baik bangunan serta sarana – sarana disekitarnya. Untuk bangunan cagar budaya sendiri, dapat dimulai dengan penataan data, seperi dengan digitalisasi data serta pemeliharaan berkala. Makam Peneleh dan bangunan serta pabrik ‘lawas’ di sepanjang sungai Kalimas merupakan contoh cagar budaya yang belum terlihat ada tindakan walau wacana revitalisasinya sudah banyak diwacanakan. Memang, kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dengan pengkomunikasian yang baik mutlak diperlukan karena akan sangat sulit apabila pemerintah mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak sedikit itu.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam terwujudnya pencapaian tersebut, diperlukan kerjasama yang berkelanjutan antar pemerintah dan masyarakat, dalam hal ini juga termasuk pebisnis atau investor dalam hal pendanaan atau pengarahan (penyaranan) atas tujuan CSR- Corporate Social Responsibilty dalam bidang pariwisata; akademisi atau komunitas pecinta wisata, dalam hal penelitian, public relation atau sosialisasi; maupun masyarakat lokal secara umum. Dengan begitu hal tersebut tidak hanya dapat memanjakan wisatawan tetapi juga bisa membangkitkan perekonomian penduduk lokal, karena dengan semakin tingginya angka wisatawan yang masuk , maka penduduk sekitar bisa memanfaatkan momen tersebut untuk mengembangkan konsep ekonomi kreatif dengan ide ide baru yang dapat menunjang hal tersebut. Tulisan ini kemudian, hanya merupakan gambaran besarnya saja, segala gagasan yang tertuang secara singkat diatas tentu perlu dibedah dan dibahas kembali satu persatu untuk mewujudkan Surabaya sebagai kota yang nyaman untuk tujuan pariwisata.
Referensi :
Mackward, Ane. 2008, Backpacker : A next generation ? Auclkland University of Technology : Auckland\
Wisata Kota Surabaya dalam http://www.surabaya.go.id/wisata/index.php?id=2
Klenteng Hok Tien Hian, dalam http://kelenteng.com/kelenteng-hong-tiek-hian-jl-dukuh-surabaya/
Londo paulus, 2012. Dalam Bank Sampah dengan Sistem 3R (Reduce, Reuse, Recycle) Agar Masyarakat Peduli Sampah dalam http://green.kompasiana.com/polusi/2012/03/05/bank-sampah-dengan-sistem-3r-agar-masyarakat-peduli-sampah/
Paragraf Pertama
Semua Paragrap yang di sembunyikan