1.1.13

I Left My “Jaw Drop” in Gili Trawangan

Cerita sebelumnya, bisa dilihat disini 

Salah satu lagu favorit saya, “I Left my heart in San Fransisco” menginspirasi judul tulisan ini, oleh karenanya tulisan ini saya kasi judul I left my “jaw drop” in Gili Trawangan (walau agak ga nyambung sih sbenarnya, hhe), diakhir cerita, akan saya kasih tau kenapa Gili Trawangan bikin rahang saya menganga – jaw dropped. alias “terperangah” 
----------------------------

Berjalan lurus ke utara sekitar 25 km dari daerah pantai Batu Layar mengantarkan kami ke daerah Pelabuhan Bangsal yang merupakan Check Point sebelum bertolak ke Gili Trawangan dengan menggunakan semacam perahu boat. Mobil pun diparkir di dekat loket pembelian tiket, pakde memilih untuk tidur di mobil selain untuk istirahat, beliau emang ga seberapa minat buat main – main di Pantai, jadilah kami berempat sekeluarga, ditambah Bude Mimik dan bude Qoim berangkat ke Gili Trawangan. Gili Trawangan merupakan salah satu pulau yang terjauh dari 3 pulang kecil di Barat laut Pulau Lombok, dengan biaya 10.000 per orang berangkatlah kami menuju kesana. 

pakde dan bude sebelum menyebrang ke gili terawangan

ibuk , bude dengan Maria (brazil, 19 tahun) dan cowoknya
Saat itu udara sangat panas dan berangin, perjalanan 30 menit dengan boat pun berasa lumayan lama karena cuaca yang ga bersahabat tersebut. Tetapi semuanya terbayar dengan suguhan pemandangan Epic Gili Terawangan. Airnya bening banget, sampe dasar tanah yang penuh batu batu lucu itu kelihatan jelas. Setelah Air dan pasir pantainya, fenomena selanjutnya yang terlihat yaitu wow, ada “Kota” pindah kesini ! Jalanan di sekitar pantai dipenuhi cafe, restoran restoran modern, tempat spa, hostel hostel dan bahkan ATM, semacam ada yang “memindahkan” bangunan-bangunan dari Pinggiran jalanan Kuta di Bali ke Pulau kecil yang lokasinya berada di tengah tengah laut alias terpencil ini. Gili Trawangan benar-benar surganya wisatawan, Bule sih ya lebih tepatnya! 
welcome to Gili Trawangan

berfoto disalah satu tempat nongkrong bule hehehe
Awalnya, kami ingin menikmati daerah sekitar gili trawangan yang bila dikelilingi panjangnya sekitar 9km itu dengan menaiki cidomo (semacam andong, tapi lebih kecil). Harga yang dipatok untuk sekali keliling yaitu 150.000 untuk 3 orang. Ayah merasa harga tersebut tidak “worth to take” alias kemahalan, akhirnya batallah naik cidomo dan beralih menyewa sepeda, yang cuma 15 ribu perjam. Ayah dan Jebi memilih mencoba kuliner di sekitar gili trawangan, aku, ibuk dan dua bude memilih bersepeda, lucu rasanya lihat 3 ibu ibu itu naik sepeda, mereka kelihatan kegirangan banget, soalnya sudah lama banget ga naik sepeda, katanya. 
ibuk :)

bude :)
Sepedaku pun berjalan menyusuri jalanan di Gili terawangan bermacam macam turis dengan berbagai macam warna kulit dan kostum, serta jajaran tempat nongkrong yang penuh dekorasi lucu yang bertebaran, Sekilas aku juga melihat sekelompok hikers dengan tas gunung besar menyusuri jalanan, mungkin habis dari Rinjani, pikirku. Ah, suasananya menyenangkan banget pokoknya, cocok untuk melepas penat karena tidak kutemui satupun kendaraan bermotor disini. Sampai akhirnya aku bosan menyusuri jalan utama dan iseng belok ke gang – gang kecil diantara jajaran hostel – hostel. Dan Hwow, aku agak kaget ketika seketika kutemui bangunan masjid yang lumayan besar. Wah, berarti mungkin di belakang sini ada semacam pemukiman penduduk lokal. Terbukti Akhirnya, setelah kuteruskan blusukan ke gang gang yang lebih dalam, suasananya persis kayak perkampungan ada rumah – rumah, warung jualan, toko pulsa, toko kelontong, anak – anak kecil bermain, bahkan toko bangunan. Nah dari situ aku sadar kalau Gili terawangan itu bukan Cuma pulau kosong yang khusus jadi tujuan wisata seperti yang aku kira sebelumnya, karena dibelakang semua gemerlap yang tampak didepan, terdampak pemukiman penduduk yang sama seperti kebanyakan. Jadi mikir, apa ini semacam unequal exchange ya, seakan akan penduduk lokal itu yang jadi servant nya bule bule gitu, ya emang sih ada nilai ekonomi yang dipertukarkan, tapi melihat kondisi yang seakan kontras tersebut berasa ga sepadan aja sih, dilemma. Yasudah, saya ga punya data kongkritnya sih, cuman bisa tau dan mikir dalam hati, tapi ga tau gimana cara memandang dan ngasi solusi, jadi fenomena ketimpangan diatas cuman berada di tataran #cukuptau aja, hmmm yah semoga penduduk lokal disana “benar-benar” sejahtera , amin 

masjid di gili terawangan

salah satu sudut pemukiman penduduk di gili terawangan
 
Well, back to the story, Capek berkeliling, aku pun nyoba makan di salah satu warung lokal, nyobain pepes ikannya yang ternyata rasanya ga jauh beda sama pepes di gresik. Setelah ngembaliin sepeda kami Cuma jalan jalan menyusuri pasir – pasir, foto -foto dan main air, karena kami memang ga siap kostum buat snorkeling atau diving karena emang dasarnya trip kesini ga direncanain toh, hha klo diving mungkin karena ga siap budget, dan perlu latihan dulu sebelumnya. 


 
numpang properti orang hha
jebi nggaya

--------------------


Hari sudah sore, dan mendung pekat menggantung, kami harus segera kembali ke Pelabuhan Bangsal, kasian pakde sudah ditinggal lama di Mobil. Kami pun kembali menaiki boat yang sama dengan boat ketika berangkat. Kapal hampir penuh , tapi masih harus menunggu beberapa orang lagi untuk berangkat. Tak lama kemudian akhirnya rombongan terakhir pun masuk, dan wow, mereka merupakan hikers yang tadi aku lihat waktu bersepeda. Sontak, mereka jadi pusat perhatian karena bawaan mereka yang segede kudanil. Seketika aku menebak –nebak, mahasiswa apa SMA ya ? karena ternyata wajah – wajah mereka masih imut semua hehehe. 

mendung pekat sebelum pulang
Aku, jebi dan ayah duduk dibagian depan, dan mereka ada dibelakang, hmm padahal pingin banget ngobrol ngobrol sama mereka. Kuperhatiin satu satu, ternyata ada salah satu dari mereka yang pake kaos PALABS , wah aku langsung familiar, PALABS kan organisasi PA yang bikin video semeru keren itu (lihat deh disini). Sebenarnya aku ga begitu tau PALABS tuh apaan, aku aja tau videonya dari temen2 Wombopala, hhe

ayah dan jebi di boat ketika pulang
Pucuk dicita, ulam pun tiba, beberapa saat kemudian salah satu dari mereka pindah kebagian depan, gara2 kesempitan mungkin. Belum lama duduk, dia uda ditanyain sama bapak2 disampingnya, aku pun nunggu, sampai akhirnya aku ada celah buat nyeletuk “ooh, Pada dari Rinjani nh?“ tanyaku , dan dia mengiyakan, aku pun tanya – tanya lagi, dia cerita kalau mereka dari jakarta ke rinjani naik pesawat trus iseng ke gili trawangan sebelum balik ke jakarta. “aku liat tadi, temenmu ada yang pake baju PALABS, kalian anak PALABS ya?” tanyaku lagi , dan dia mengiyakan , lalu kutanya mereka kelas berapa dan sekolah dimana , dijawab kelas dua SMA dan sekolah di SMA LAB Jakarta. Kala itu aku berasa bodoh, karena dari situ aku baru tau klo PALABS itu singkatan dari Pecinta Alam LAB School (bgitu kira2, yang intinya, PALABS itu ya PA nya SMA LAB) nah, udah jelas PA-nya SMA LAB kok aku malah nanya mereka sekolah dimana, pliss , hha. 

Trus dia balik nanya tau PALABS darimana, kujawab tau dari temen2 pecinta alamku (wombopala,red.) yang ngasi tau video perjalanan semeru mereka di you tube, dan darinya aku tau klo yang bikin tuh video keren emang kakak kelasnya di SMA LAB. Setelah itu kami lanjut ngobrol – ngobrol tentang Semeru. Belum lama cerita – cerita, mendung yang sudah lama menggantung itu pun menjadi hujan yang lumayan deres, semua penumpang pun merapat ke tengah agar tidak terkena hujan hingga akhirnya sampai kembali di pelabuhan bangsal yang anehnya udah terang hujannya. Ibuk dan Bude udah nyuru aku buru – buru kembali ke Mobil jadi aku gak sempet say goodbye sama anak2 Palabs tadi  *ga sempet foto2*. 

FYI, sesampainya aku dirumah, aku iseng cari grup facebooknya PALABS , dan voila ! ternyata ada grupnya di FB dan terlihat ada postingan foto anak-anak PALABS di puncak Rinjani yang aku temui kemarin di boat sepulang dari gili trawangan. Trus aku iseng buka profil mereka, trus nemu link twitternya , terus nemu blognya, (hahha kepo banget sih aku). Bukan gimana-gimana sih, cuman seru aja, apalagi setelah baca salah satu blog à fajarhartono.com, aku jadi tau kalau si fajar (anak yang ngobrol sama aku di boat kemarin) itu ternyata peserta termuda yang tergabung dalam ekspedisi KILIMANJARO dengan 2 perwakilan lain dari UNJ lainnya, oh God, dia masih kelas 2 SMA lho padahal, whooa proud of you, kid !

Nah, begitulah cerita kunjungan singkatku ke Gili Trawangan, walau singkat, beberapa hal telah membuat aku terperangah, pertama, melihat berpindahnya “kota” ke remote area macam gili trawangan, yang belakangan aku ketahui kalau mau bikin rumah atau bangunan harus “impor” pasir sak-sak an dari Lombok yang kulihat sendiri di kerjakan oleh penduduk lokal lalu di angkut pake perahu / boat ke gili trawangan *ga bisa mbayangin gimana susahnya*, kemudian juga tentang ketimpangan yang terlihat antara “tampak depan” gili trawangan yang indah dan menyenangkan sama pemukiman penduduk. 

Terlepas dari fenomena gili terawangan yang aku temui, hal lain yang bikin aku senang pas ksana kemarin yaitu ketika berkesempatan ngobrol bentar sama salah satu anggota PALABS yang kutemui di boat, apalagi setelah tau klo dia itu bukan anak PA biasa, tapi anak PA yang sudah berhasil menaklukkan KILIMANJARO, di Tanzania seperti yang ku ceritain diatas. So Then, that’s why my Jaw dropped, Glad to see you, and hope we’ll meet again, cool kid  !

               
cerita berikutnya, at nusa dua Bali , akan saya post selanjutnya :)

Paragraf Pertama
Semua Paragrap yang di sembunyikan

2 komentar:

  1. ada bnyk tempat yg indah d lombok slain gili terawangan...:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, kuta lombok lebih bagus mnurutku hhe, smh semakin terkenal, alam lombok ga makin tereksploitasi, hhe amin

      Hapus