Cerita sebelumnya, bisa dilihat disini
Salah satu lagu favorit saya, “I Left my heart in San Fransisco”
menginspirasi judul tulisan ini, oleh karenanya tulisan ini saya kasi judul I
left my “jaw drop” in Gili Trawangan (walau agak ga nyambung sih sbenarnya, hhe),
diakhir cerita, akan saya kasih tau kenapa Gili Trawangan bikin rahang saya
menganga – jaw dropped. alias “terperangah”
----------------------------
Berjalan lurus ke utara sekitar 25 km dari daerah pantai
Batu Layar mengantarkan kami ke daerah Pelabuhan Bangsal yang merupakan Check
Point sebelum bertolak ke Gili Trawangan dengan menggunakan semacam perahu
boat. Mobil pun diparkir di dekat loket pembelian tiket, pakde memilih untuk
tidur di mobil selain untuk istirahat, beliau emang ga seberapa minat buat main
– main di Pantai, jadilah kami berempat sekeluarga, ditambah Bude Mimik dan
bude Qoim berangkat ke Gili Trawangan. Gili Trawangan merupakan salah satu
pulau yang terjauh dari 3 pulang kecil di Barat laut Pulau Lombok, dengan biaya
10.000 per orang berangkatlah kami menuju kesana.
pakde dan bude sebelum menyebrang ke gili terawangan |
ibuk , bude dengan Maria (brazil, 19 tahun) dan cowoknya |
Saat itu udara sangat panas dan berangin, perjalanan 30
menit dengan boat pun berasa lumayan lama karena cuaca yang ga bersahabat
tersebut. Tetapi semuanya terbayar dengan suguhan pemandangan Epic Gili
Terawangan. Airnya bening banget, sampe dasar tanah yang penuh batu batu lucu
itu kelihatan jelas. Setelah Air dan pasir pantainya, fenomena selanjutnya yang
terlihat yaitu wow, ada “Kota” pindah kesini ! Jalanan di sekitar pantai
dipenuhi cafe, restoran restoran modern, tempat spa, hostel hostel dan bahkan
ATM, semacam ada yang “memindahkan” bangunan-bangunan dari Pinggiran jalanan
Kuta di Bali ke Pulau kecil yang lokasinya berada di tengah tengah laut alias
terpencil ini. Gili Trawangan benar-benar surganya wisatawan, Bule sih ya lebih
tepatnya!
welcome to Gili Trawangan |
berfoto disalah satu tempat nongkrong bule hehehe |
Awalnya, kami ingin menikmati daerah sekitar gili trawangan
yang bila dikelilingi panjangnya sekitar 9km itu dengan menaiki cidomo (semacam
andong, tapi lebih kecil). Harga yang dipatok untuk sekali keliling yaitu
150.000 untuk 3 orang. Ayah merasa harga tersebut tidak “worth to take” alias
kemahalan, akhirnya batallah naik cidomo dan beralih menyewa sepeda, yang cuma
15 ribu perjam. Ayah dan Jebi memilih mencoba kuliner di sekitar gili
trawangan, aku, ibuk dan dua bude memilih bersepeda, lucu rasanya lihat 3 ibu
ibu itu naik sepeda, mereka kelihatan kegirangan banget, soalnya sudah lama
banget ga naik sepeda, katanya.
ibuk :) |
bude :) |
Sepedaku pun berjalan menyusuri jalanan di Gili terawangan
bermacam macam turis dengan berbagai macam warna kulit dan kostum, serta
jajaran tempat nongkrong yang penuh dekorasi lucu yang bertebaran, Sekilas aku
juga melihat sekelompok hikers dengan tas gunung besar menyusuri jalanan,
mungkin habis dari Rinjani, pikirku. Ah, suasananya menyenangkan banget
pokoknya, cocok untuk melepas penat karena tidak kutemui satupun kendaraan
bermotor disini. Sampai akhirnya aku bosan menyusuri jalan utama dan iseng
belok ke gang – gang kecil diantara jajaran hostel – hostel. Dan Hwow, aku agak
kaget ketika seketika kutemui bangunan masjid yang lumayan besar. Wah, berarti
mungkin di belakang sini ada semacam pemukiman penduduk lokal. Terbukti
Akhirnya, setelah kuteruskan blusukan ke gang gang yang lebih dalam, suasananya
persis kayak perkampungan ada rumah – rumah, warung jualan, toko pulsa, toko
kelontong, anak – anak kecil bermain, bahkan toko bangunan. Nah dari situ aku
sadar kalau Gili terawangan itu bukan Cuma pulau kosong yang khusus jadi tujuan
wisata seperti yang aku kira sebelumnya, karena dibelakang semua gemerlap yang
tampak didepan, terdampak pemukiman penduduk yang sama seperti kebanyakan. Jadi
mikir, apa ini semacam unequal exchange ya,
seakan akan penduduk lokal itu yang jadi servant nya bule bule gitu, ya emang
sih ada nilai ekonomi yang dipertukarkan, tapi melihat kondisi yang seakan
kontras tersebut berasa ga sepadan aja sih, dilemma. Yasudah, saya ga punya
data kongkritnya sih, cuman bisa tau dan mikir dalam hati, tapi ga tau gimana
cara memandang dan ngasi solusi, jadi fenomena ketimpangan diatas cuman berada
di tataran #cukuptau aja, hmmm yah semoga penduduk lokal disana “benar-benar” sejahtera , amin
masjid di gili terawangan |
salah satu sudut pemukiman penduduk di gili terawangan |
Well, back to the story, Capek berkeliling, aku pun nyoba
makan di salah satu warung lokal, nyobain pepes ikannya yang ternyata rasanya
ga jauh beda sama pepes di gresik. Setelah ngembaliin sepeda kami Cuma jalan
jalan menyusuri pasir – pasir, foto -foto dan main air, karena kami memang ga
siap kostum buat snorkeling atau diving karena emang dasarnya trip kesini ga
direncanain toh, hha klo diving mungkin karena ga siap budget, dan perlu
latihan dulu sebelumnya.
numpang properti orang hha |
jebi nggaya |
--------------------
Hari sudah sore, dan mendung pekat menggantung, kami harus
segera kembali ke Pelabuhan Bangsal, kasian pakde sudah ditinggal lama di
Mobil. Kami pun kembali menaiki boat yang sama dengan boat ketika berangkat.
Kapal hampir penuh , tapi masih harus menunggu beberapa orang lagi untuk
berangkat. Tak lama kemudian akhirnya rombongan terakhir pun masuk, dan wow,
mereka merupakan hikers yang tadi aku lihat waktu bersepeda. Sontak, mereka
jadi pusat perhatian karena bawaan mereka yang segede kudanil. Seketika aku
menebak –nebak, mahasiswa apa SMA ya ? karena ternyata wajah – wajah mereka masih
imut semua hehehe.
mendung pekat sebelum pulang |
Aku, jebi dan ayah duduk dibagian depan, dan mereka ada
dibelakang, hmm padahal pingin banget ngobrol ngobrol sama mereka. Kuperhatiin
satu satu, ternyata ada salah satu dari mereka yang pake kaos PALABS , wah aku
langsung familiar, PALABS kan organisasi PA yang bikin video semeru keren itu
(lihat deh disini). Sebenarnya aku
ga begitu tau PALABS tuh apaan, aku aja tau videonya dari temen2 Wombopala, hhe
ayah dan jebi di boat ketika pulang |
Pucuk dicita, ulam pun tiba, beberapa saat kemudian salah
satu dari mereka pindah kebagian depan, gara2 kesempitan mungkin. Belum lama
duduk, dia uda ditanyain sama bapak2 disampingnya, aku pun nunggu, sampai
akhirnya aku ada celah buat nyeletuk “ooh, Pada dari Rinjani nh?“ tanyaku , dan
dia mengiyakan, aku pun tanya – tanya lagi, dia cerita kalau mereka dari
jakarta ke rinjani naik pesawat trus iseng ke gili trawangan sebelum balik ke
jakarta. “aku liat tadi, temenmu ada yang pake baju PALABS, kalian anak PALABS
ya?” tanyaku lagi , dan dia mengiyakan , lalu kutanya mereka kelas berapa dan
sekolah dimana , dijawab kelas dua SMA dan sekolah di SMA LAB Jakarta. Kala itu
aku berasa bodoh, karena dari situ aku baru tau klo PALABS itu singkatan dari
Pecinta Alam LAB School (bgitu kira2, yang intinya, PALABS itu ya PA nya SMA
LAB) nah, udah jelas PA-nya SMA LAB kok aku malah nanya mereka sekolah dimana,
pliss , hha.
Trus dia balik nanya tau PALABS darimana, kujawab tau dari
temen2 pecinta alamku (wombopala,red.) yang ngasi tau video perjalanan semeru
mereka di you tube, dan darinya aku tau klo yang bikin tuh video keren emang
kakak kelasnya di SMA LAB. Setelah itu kami lanjut ngobrol – ngobrol tentang Semeru.
Belum lama cerita – cerita, mendung yang sudah lama menggantung itu pun menjadi
hujan yang lumayan deres, semua penumpang pun merapat ke tengah agar tidak
terkena hujan hingga akhirnya sampai kembali di pelabuhan bangsal yang anehnya
udah terang hujannya. Ibuk dan Bude udah nyuru aku buru – buru kembali ke Mobil
jadi aku gak sempet say goodbye sama anak2 Palabs tadi *ga sempet foto2*.
FYI, sesampainya aku dirumah, aku iseng cari grup
facebooknya PALABS , dan voila ! ternyata ada grupnya di FB dan terlihat ada
postingan foto anak-anak PALABS di puncak Rinjani yang aku temui kemarin di
boat sepulang dari gili trawangan. Trus aku iseng buka profil mereka, trus nemu
link twitternya , terus nemu blognya, (hahha kepo banget sih aku). Bukan
gimana-gimana sih, cuman seru aja, apalagi setelah baca salah satu blog à
fajarhartono.com, aku jadi tau kalau si fajar (anak yang ngobrol sama aku di
boat kemarin) itu ternyata peserta termuda yang tergabung dalam ekspedisi
KILIMANJARO dengan 2 perwakilan lain dari UNJ lainnya, oh God, dia masih
kelas 2 SMA lho padahal, whooa proud of you, kid !
Nah, begitulah cerita kunjungan singkatku ke Gili Trawangan,
walau singkat, beberapa hal telah membuat aku terperangah, pertama, melihat
berpindahnya “kota” ke remote area macam gili trawangan, yang belakangan aku
ketahui kalau mau bikin rumah atau bangunan harus “impor” pasir sak-sak an dari
Lombok yang kulihat sendiri di kerjakan oleh penduduk lokal lalu di angkut pake
perahu / boat ke gili trawangan *ga bisa mbayangin gimana susahnya*, kemudian juga
tentang ketimpangan yang terlihat antara “tampak depan” gili trawangan yang
indah dan menyenangkan sama pemukiman penduduk.
Terlepas dari fenomena gili terawangan yang aku temui, hal lain
yang bikin aku senang pas ksana kemarin yaitu ketika berkesempatan ngobrol
bentar sama salah satu anggota PALABS yang kutemui di boat, apalagi setelah tau
klo dia itu bukan anak PA biasa, tapi anak PA yang sudah berhasil menaklukkan
KILIMANJARO, di Tanzania seperti yang ku ceritain diatas. So Then, that’s why my
Jaw dropped, Glad to see you, and hope we’ll meet again, cool kid !
Paragraf Pertama
Semua Paragrap yang di sembunyikan
ada bnyk tempat yg indah d lombok slain gili terawangan...:)
BalasHapusIya mbak, kuta lombok lebih bagus mnurutku hhe, smh semakin terkenal, alam lombok ga makin tereksploitasi, hhe amin
Hapus